Tanggal 19 Juni 2014 Dolly akan ditutup. Gubernur Soekarwo dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini memastikan bahwa lokalisasi tersebut benar-benar ditutup.
Dalam rentang waktu selama tiga bulan ini, lanjut Soekarwo, para penghuni Dolly akan dibekali keterampilan agar bisa mandiri jika nantinya sumber mata pencahariannya ditutup. Sedangkan untuk pemilik wisma akan diajak bicara untuk ganti rugi wismanya.
“Pemprov siap memfasilitasi apa yang diminta Pemkot Surabaya dalam upaya penutupan Dolly ini. Apakah menyangkut dana atau pelatihan para PSK, termasuk kemudahan dalam pembelian wisma milik mucikari,” jelasnya.
Problem yang dihadapi memang sulit karena ada pertentangan dari mucikari dan pemilik modal. Bagaimanapun ini adalah lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Meski demikian kedua pemimpin ini tetap pada keyakinannya bahwa penutupan lokalisasi akan berjalan lancar.
“Prinsipnya meski modalnya besar bukan berarti tidak bisa ditutup. Makanya, pendekatan selalu dilakukan. Untuk teknisnya sudah dibicarkan dengan Walikota,” imbuhnya.
Diketahi, upaya penutupan ini karena Pemprov maupun Pemkot melihat gejala sosial terhadap PSK yang dinilai sangat memprihatinkan. Mereka rata-rata tercekik hutang dengan mucikari, sehingga tidak bisa lepas dari dunia hitam itu.
Karenanya, ke depan mereka diberi modal agar bisa berbisnis. Pemkot sudah menyiapkan skema pembiayaannya. “Bahkan bila perlu Bank UMKM kita kerahkan untuk memberi kredit,” tukas Pakde Karwo.
Tentu, keberanian Pakde Karwo dan Tri Risma ini akan menorehkan nilai kesejarahan besar dalam perjalanan kota Surabaya. Ihwal Gang Dolly lahir menurut data yang dihimpun LICOM, dari sekelompok kecil perempuan pelacur era zaman Belanda di kawasan pemakaman –kini pemakaman kristen Kembang Kuning. Kemudian muncul perempuan keturunan Belanda berdarah Yahudi yang dikenal dengan nama Dolly van der mart, menjadi penguasa di situ.
Perjalanan waktu, populasinya berkembang, begitu pula rumah yang semula warung bordil hanya terhitung jari, juga terus bertambah. Sampai kemudian terbentuklah sebuah gang dengan nama Gang Dolly yang rumahnya sangat padat. Jumlah prostitusinya pernah mencapai angka sampai 900-an. Wajar disebut kampung prostitusi terbesar se Asia Tenggara. Karena memang lebih besar dibanding pusat prostitusi Patpong di Bangkok Thailand, apalagi Geylang di Singapura.
Ironisnya, Surabaya seperti identitik Dolly. Tragis lagi, kompleks pelacruran Gang Dolly bukannya tergusur meski kawasan sekitarnya sudah berkembang jadi pemukiman padat, bahkan juga ada real estat seperti Darmao Permai, dan lainnya.
Lebih ironis lagi, sudah 12 pejabat Gubernur Jawa Timur –sejak Gubernur pertama Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (1942)– tak berkutik menghadapi Dolly.
Malahan, Dolly seperti beranak pinak melahirkan tempat-tempat prostitusi lain di Surabaya. Ada Jarak, Kremil, Bangunrejo, Moroseneng. Wajar, di kalangan anak lelaki Surabaya berkembang joke “Bukan anak Surabaya kalau tidak pernah tahu (datang) ke Dolly”. Sejak Walikota Surabaya kelima Radjamin Nasution (1942) sampai Walikota ke 17 Bambang DH, bukannnya menghapus Dolly, sebaliknya seolah merelakan Surabaya ditumbuh dublikasi-duplikasi Dolly tadi.
Dan, Risma sebagai Walikota Surabaya ke 18 melakukan terobosan bersejarah. Begitu pun Soekarwo sebagai Gubernur jatim ke 13 yang juga ancang-ancang sejak lama, kompak, gotong royong, menggusur Dolly. Agar tidak terus memangsa para remaja lelaki dari generasi satu generasi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar